Selasa, 27 November 2012

FILSAFAT DALAM ISLAM

Makalah Agama Islam
Dosen: Ibu Eva
 
 DEFINISI DAN KONSEP FILSAFAT DALAM ISLAM
Para ulama yang menganggap filsafat sebagai ilmu sesat adalah para ulama arab saudi dan seluruh ulama di dunia ini yang beraliran salafy/wahaby/ ahlus sunnah wal jamaah. Dalam berbagai buku dan majalah dikatakan bahwa filsafat adalah ilmu sesat yang bertentangan dengan ajaran islam. Namun harus diingat bahwa definisi ilmu filsafat yang dianggap sesat adalah ilmu filsafat yang bertentangan dengan ajaran islam. Imam Ghazali telah menulis buku yang mengkritik filsafat dan menyatakan kafirnya berbagai ajaran fisafat. Namun kemudian Ibnu Rusyd (pengarang kitab bidayatul mujtahid) menulis buku yang membantah buku Imam Ghazali tersebut, dikabarkan bahwa Ibnu Rusyd membela filsafat, mungkin filsafat yang dibela ibnu rusyd adalah filsafat yang tidak bertentangan dengan ajaran islam.
Tiga Istilah
Dalam tradisi intelektual Islam, kita temukan tiga istilah yang umum untuk filsafat. Pertama, istilah hikmah,yang tampaknya sengaja dipakaiagar terkesan bahwa filsafat itu bukan barang asing, akan tetapi berasal dari dan bermuara pada al-Qur’an. Al-‘Amiri, misalnya, menulis bahwa hikmah berasal dari Allah, dan diantara manusia yang pertama dianugrahi hikmah oleh Allah ialah Luqman al-Hakim. Disebutnya ketujuh filsuf Yunani kuno itu sebagai ahli hikmah (al-hukama’ as-sab‘ah)–yakni Thales, Solon, Pittacus, Bias, Cleobulus, Myson dan Chilon.
Demikian pula al-Kindi, yang menerangkan bahwa ‘falsafah’ itu artinya hubb al-hikmah (cinta pada kearifan). Sementara Ibn Sina menyatakan bahwa: hikmah adalah kesempurnaan jiwa manusia tatkala berhasil menangkap makna segala sesuatu dan mampu menyatakan kebenaran dengan pikiran dan perbuatannya sebatas kemampuannya sebagai manusia (istikmal an-nafs al-insaniyyah bi tashawwur al-umur wa t-tashdiq bi l-haqa’iq an-nazhariyyah wa l-‘amaliyyah ‘ala qadri thaqat al-insan). Siapa berhasil menggapai ‘hikmah’ sedemikian makaiatelah mendapat anugerah kebaikan berlimpah, ujar Ibn Sina.
Sudah barang tentu tidak semua orang setuju dengan istilah ini. Imam al-Ghazali termasuk yang menentangnya. Menurut beliau, lafaz ‘hikmah’ telah dikorupsi untuk kepentingan filsuf, karena ‘hikmah’ yang dimaksud dalam kitab suci al-Qur’an itu bukan filsafat, melainkan Syari‘at Islam yang diturunkan Allah kepada para nabi dan rasul.
Yang kedua adalah istilah falsafah, yang diserap ke dalam kosakata Arab melalui terjemahan karya-karya Yunani kuno. Definisinya diberikan oleh al-Kindi: filsafat adalah ilmu yang mempelajari hakikat segala sesuatu sebatas kemampuan manusia. Filsafat teoritis mencari kebenaran, manakala filsafat praktis mengarahkan pelakunya agar ikut kebenaran. Berfilsafat itu berusaha meniru perilaku Tuhan. Filsafat merupakan usaha manusia mengenal dirinya. Demikian tulis al-Kindi.
Sekelompok cendekiawan bernama‘Ikhwan as-Shafa’ menambahkan: ‘Filsafat itu berangkat darirasaingin tahu. Adapun puncaknya adalah berkata dan berbuat sesuai dengan apa yang anda tahu (al-falsafah awwaluha mahabbatul-‘ulum ... wa akhiruha al-qawl wal-‘amal bi-ma yuwafiqul-‘ilm)’.
Ketiga, istilah ‘ulum al-awa’il yang artinya ‘ilmu-ilmu orang zaman dulu’. Yaitu ilmu-ilmu yang berasal dari peradaban kuno pra-Islam seperti India, Persia, Yunani dan Romawi. Termasuk diantaranya ilmu logika, matematika, astronomi, fisika, biologi, kedokteran, dan sebagainya.
Dalam al-Qur`an dan Hadits, kata al-hikmah sering kali ditemukan. Ulama Muslim yang tersebar mencoba mendefinisikan terma al-hikmah ini, dan juga istilah falsafah, yang telah masuk ke dalam bahasa Arab melalui terjemahan Yunani pada Abad ke-8 atau 9. Di satu sisi, apa yang disebut filsafat dalam bahasa Inggris, ternyata ditemukan pula dalam konteks peradaban Islam. Bahkan tidak hanya pada aliran-aliran filsafat, tetapi juga beberapa disiplin lain seperti kalâm, ma’rifah dan ushûl fiqh. Dan di sisi lain, dengan berbedanya latar belakang para ulama itu, maka berbeda juga pandangan dan pemahamannya tentang definisi dari hikmah dan falsafah. Tentunya hal ini menyisakan satu pertanyaan penting; sejauh manakah perhatian Islam terhadap filsafat?
Dalam sejarah Islam, istilah-istilah yang ada dalam kajian filsafat Islam acapkali diperdebatkan oleh para filosof, ulama kalam dan terkadang oleh kaum Sufi. Dari masa ke masa mereka membincangkan definisi terma-terma itu tanpa berhasil mencapai titik temunya. Pada perjalananya ini, istilah hikmah dan falsafah masih terus digunakan.
Sedangkan terma-terma derivatif seperti hikmah ilâhiyyah dan hikmah muta’âliyyah berkembang di aspek lain dan memunculkan pemaknaan-pemaknaan baru, terutama dalam alirannya Mulla Sadra. Menariknya, hikmah, dalah satu terma yang masih diperdebatkan ini sering direbutkan oleh para sufi, mutakallimîn dan filosof.
Dasar agama yang mereka gunakan pun sama; hadits Nabi yang berbunyi “alayka bi al-hikmah? Fa`inna al-khayr fi sal-hikmah”. Kalangan sufi semisal Tirmidhi dan Ibnu Arabi menyebut kebijaksanaan yang tersingkap melalui setiap manifestasi dari simbol sebagai hikmah sebagaimana termaktub dalam masterpiece-nya bertajuk Fushûsh al-Hikâm. Sedangkan beberapa mutakallimîn seperti Fakhr al-Din al-Razi mengklaim bahwa yang disebut Hikmah adalah kalâm, bukan filsafat. Ibnu Khaldun pun mengamini pandangan ini dengan menyebut Kalam muta`akhkhirîn sebagai filsafat atau Hikmah.
Dalam tulisan ini akan coba diuraikan pemahaman para filosof Muslim tentang definisi dan arti konsep filsafat serta istilah hikmah dan falsafah. Tentu saja pemahaman ini juga mencakup apa yang dipahami oleh bangsa Yunani tentang istilah philosophia dan beberapa definisi dari sumber-sumber Yunani, agar dapat diketahui bagaimana istilah dan definisi tersebut masuk ke dalam Bahasa Arab.
Beberapa definisi dari sumber-sumber Yunani yang dikenal kalangan filosof Muslim adalah :
Filsafat (al-falsafah) adalah pengetahuan tentang segala eksistensi (keberadaan) sebagaimana ia ada.
Filsafat adalah ilmu pengetahuan tentang seluruh hal yang sakral dan profan.
Filsafat adalah mencari perlindungan dalam kematian, yang berarti, mencintai kematian itu sendiri
Filsafat adalah berusaha menjadi seperti-Tuhan dalam batas kemampuan manusia.
Filsafat adalah adalah seni dari segala seni dan ilmu dari segala ilmu.
Filsafat adalah sinonim dari hikmah.
Para Filosof Muslim mengkompromikan definisi-definisi filsafat yang mereka peroleh dari sumber-sumber klasik ini dengan apa yang mereka kenal dalam istilah Qur`ani sebagai Hikmah, seraya meyakini bahwa asal hikmah itu sendiri adalah suci. Filosof Muslim pertama, Abu Ya’qub al-Kindi menulis dalam bukunya “ On First Philosophy “:
Filsafat adalah ilmu pengetahuan tentang realita segala sesuatu dalam batas kemampuan manusia, karena orientasi filosof dalam pengetahuan teoretis adalah untuk mendapatkan kebenaran, dan dalam pengetahuan praktis adalah berprilaku sesuai dengan kebenaran. Al-Farabi di samping menyetujui pengertian ini, juga menambahkan pembedaan antara filsafat yang didasari oleh kepastian (al-yaqîniyyah) seperti halnya demonstrasi (baca : burhan), dan filsafat yang didasari oleh opini (al-madznûnah) seperti halnya dialektika dan sophistry. Beliau juga bersikeras menyatakan bahwa filsafat adalah induk dari segala ilmu pengetahuan dan berkaitan dengan segala sesuatu yang ada. Ibnu Sina juga menerima definisi-definisi awal ini sambil membuat penjelasan-penjelasannya sendiri.
Dalam bukunya “’Uyûn al-hikmah”, dia mengatakan: “Al-hikmah (filsafat) adalah penyempurnaan jiwa manusia melalui konseptualisasi dan pembenaran (tashdîq) realita teoretis dan praktis sesuai dengan tingkat kemampuan manusia”. Namun, ia beranjak lebih jauh dalam kehidupan setelah kematian untuk membedakan antara Filsafat Paripatetik dan apa yang ia sebut sebagai “Filsafat Oriental” (al-hikmah al-masyriqiyyah) yang tidak hanya didasari oleh rasionalisasi namun juga disertai pengetahuan [sadar], yang sekaligus juga menjadi batu awal bagi Filsafat Iluminasi Suhrawardi.
Murid utama Ibnu Sina, Bahmanyar, di saat yang sama juga mendefinisikankan filsafat hampir dekat dengan pengetahuan tentang segala yang ada, sebagaimana yang dilakukan Ibnu Sina dalam karya-karya Peripatetiknya, seperti al-Syifâ`, mengulang ajaran Aristotelian bahwa filsafat adalah ilmu tentang segala hal yang ada sebagaimana ia ada. Bahmanyar dalam pembukaan bukunya “Talil”, menulis: “Tujuan ilmu-ilmu filosofis adalah mengetahui segala yang ada”.
Pemikiran Isma’ili dan Hermetico-Pythagorean, yang dalam perkembangannya lebih dikenal sebagai Filsafat Peripatetik (sekalipun berbeda dalam perspektif filosofis), juga mendefinisikan filsafat tidak jauh dari para Filosof Peripatetik di atas, seraya memberikan penegasan lebih jauh pada hubungan antara aspek teoretis filsafat dan dimensi praktisnya, antara berpikir secara filosofis dan mencapai kehidupan yang bahagia. Jaringan dan hubungan yang terlihat sejak aliran filsafat Islam awal ada, menjadi lebih kentara semenjak Suhrawardi. Kemudian, hakîm dalam masyarakat Islam tidak hanya diartikan sebagai orang yang mampu mengkaji konsep-konsep abstrak secara cerdas, namun juga orang yang bisa hidup dengan mengamalkan kebijaksanaan (al-hikmah) yang ia pahami secara teoretis.
Bukan gagasan Barat modern yang berkembang di dalam dunia Islam, namun apa yang digulirkan oleh Ikhwan al-Shafa (abad 4-10) lah yang memberikan pengaruh kapanpun filsafat Islam berkultivasi. Ikhwan al-Shafa menulis, “Permulaan Filsafat adalah kecintaan pada ilmu, dilanjutkan dengan pengetahuan tentang realitas segala sesuatu yang ada sesuai dengan kemampuan manusia, dan berakhir pada perkataan serta perbuatan yang sesuai dengan pengetahuan tersebut”.
Konsep filsafat yang berkaitan dengan pencapaian kebenaran tentang asal segala wujud dan menggabungkan pengetahuan akal dengan penyucian dan penyempurnaan wujud diri manusia ini, berlaku sampai sekarang di manapun tradisi filsafat Islam berlanjut, dan pada kenyataannya, telah menjadi representasi tradisi filsafat Islam yang paling sempurna hingga hari ini.
Para pakar abad 14-20 seperti Mirth Ahmad Ashtiyani, pengarang buku “Ndmayi Rahbardn-i Dmuzish-i Kitdb-i Takwin” (Petunjuk Pengajaran Tentang Kitab Penciptaan) ; Sayyid Muhammad Kazim Ansar, pengarang sekian banyak karya termasuk Wahdah Wujûd (Kesatuan Transenden Wujud); Mahdi Ilahi Qumsha’i, pengarang “Hikmat-i Ildhi Khwdss wa Amm” (Filsafat / Teosofi - Umum Dan Khusus) dan Allamah Sayyid Muhammad Husayn Thabataba`i, pengarang sejumlah karya terutama “Usul--i Falsafa -yi Rializm” (Prinsip-prinsip Filsafat Realisme), semuanya menulis tentang definisi filsafat sesuai dengan yang telah disebutkan di atas dan mereka hidup sesuai dengan pemahaman tersebut.
Masing-masing dari karya dan hidup mereka, merupakan testimoni tidak hanya terhadap seribuan tahun lebih perhatian filosof Muslim atas makna konsep dan istilah filsafat, tapi juga terhadap signifikansi definisi Islami atas falsafah sebagai sebuah realita yang mengubah akal dan jiwa dan yang tidak pernah terpisah dari penyucian spiritual dan kesalehan yang diimplikasikan oleh istilah “hikmah” dalam konteks Islam.
Kontroversi Filsafat Islam
Kendati termasuk bagian dari tradisi intelektual Islam, tidak sedikit yang antipati terhadap filsafat –bukan (i) sebagai sikap mental, proses nalar dan kearifan, melainkan filsafat (ii) sebagai ‘barang impor’ yang mengandung unsur-unsur atheisme, sekularisme, relativisme, pluralisme, danliberalisme. Filsafat dalam pengertian kedua (ii) inilah yang ditolak oleh para ulama Muslim, yaitu filsafat yang menggiring pelakunya kepada sikap anti-Tuhan dan anti-agama, mendewakanakal, melecehkanNabi, dansebagainya.
Di abad kelima Hijriyah, Imam al-Ghazali melepaskan pukulan keras terhadap filsafat dalam karyanya Tahafut al-Falasifah, dimana beliau menganggap kufur tiga doktrin filsafat: pertama, keyakinan filosof bahwa alam ini kekal; kedua, pernyataan mereka bahwa Tuhan tidak mengetahui perkara-perkara detil; dan ketiga, pengingkaran mereka terhadap kebangkitan jasad di hari qiyamat. Fatwa yang begitu keras melarang pengajaran filsafat juga dikeluarkan oleh Ibn as-Sholah: ‘Filsafat adalah pangkal kebodohan dan penyelewengan, kebingungan dan kesesatan. Siapa yang berfilsafat, maka butalah hatinya akan keutamaan Syari‘ah suci yang ditopang dalil-dalil dan bukti-bukti yang jelas. Siapa mempelajarinya akan bersama kehinaan, tertutup dari kebenaran, dan terpedaya oleh setan.’
Adapun filsafat dalam pengertian pertama, dengan tujuan ganda membenarkan yang benar (ihqaq al-haqq) dan membatalkan yang batil (ibthal al-bathil) secara rasional, persuasif dan elegan, maka bisa dikategorikan fardu kifayah. Seperti rasa ingin tahu Nabi Ibrahim yang mendorongnya bertanya bagaimana Allah menghidupkan orang mati. Allah balik bertanya, “Apakah engkau belum percaya?” Nabi Ibrahim menjawab, “Aku percaya, akan tetapi[akubertanya] supaya hatiku tentram (mantap).” Jadi, filsafat itu untuk mengokohkan kebenaran sekaligus menghapus keraguan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar